Selasa, 24 Maret 2009

Penyebab Jatuhnya Pesawat Ulang-Alik Challanger



WASHINGTON D.C. – Amerika Serikat (AS) kehilangan satu lagi pesawat ulang-alik andalannya, Columbia, setelah ledakan tragis Sabtu (1/2) yang menewaskan tujuh astronotnya, 16 menit sebelum pendaratan. Pesawat yang namanya diambil dari nama kapal laut AS pertama yang mengitari bumi itu merupakan kebanggaan AS sejak 1981. Dengan pengalaman terbang 28 kali, Columbia cukup berjasa dalam dunia sains. Misi terakhirnya yang dimulai pada 16 Januari lalu adalah penelitian seputar biologi terapan, observasi bumi dan tata surya. Tapi apa daya, ketujuh awaknya yang telah mengangkasa selama 15 hari tewas mengenaskan di ketinggian 64 kilometer di atas Texas.Tragedi ini mengembalikan ingatan kita pada meledaknya Challenger, pesawat ulang alik NASA lain pada Januari 1986 yang merenggut enam awak dan seorang guru. Berbeda dengan Columbia yang mendapat naas ketika hendak kembali ke bumi, Challenger meledak beberapa detik setelah lepas landas.Sama seperti tragedi lain, banyak perdebatan yang muncul sesudahnya. Sederetan teori ihwal kecelakaan diajukan oleh banyak ilmuwan, politikus, teknokrat hingga orang awam dan paranormal. Struktur pesawat yang sudah terlalu tua, problem komputer, juga terorisme hanya sedikit dari banyak kemungkinan. Yang paling kuat diakui NASA adalah human factor, yakni kesalahan analisis yang dilakukan timnya empat hari sebelum Columbia meluncur, demikian dilansir Associated Press.Busa penyekat sepanjang 20 inci yang terlepas ketika Columbia lepas landas dianggap bukan sebagai gangguan berarti. Padahal justru busa mungil inilah pemicu kerusakan lapisan panas yang menyebabkan kebakaran saat badan pesawat bersentuhan dengan atmosfer.Siapa sangka kesalahan analisis ”kecil” macam ini bisa berdampak besar. Jika ingin berpaling sejenak ke-17 tahun silam, tragedi Challenger sesungguhnya bisa dicegah apabila NASA mau mendengar keberatan Morton Thiokol (MT), perusahaan pembuat roket peluncuran Challenger. MT semula meminta keberangkatan Challenger ditunda setidaknya hingga siang hari ketika suhu udara berada di atas 53 derajat Fahrenheit untuk menghindari tidak berfungsinya O-rings. O-rings ini berfungsi menjaga agar gas panas di dalam roket peluncur tidak merembes ke luar. Tapi apa lacur, George Hardy dan Larry Mulloy, dua orang petinggi NASA, berkeras untuk tetap meluncurkan Challenger karena ingin agar NASA tepat waktu. Selain alasan kebocoran O-rings pada suhu di bawah 53 derajat Fahrenheit hanya terjadi satu kali, yakni Januari 1985. MT akhirnya menyetujui peluncuran tersebut sebab mereka tidak punya bukti empiris yang lebih kuat untuk menolak. Beberapa saat setelah diluncurkan pada tanggal 28 Januari 1986, Challenger pun meledak di udara disaksikan langsung oleh jutaan orang.Kerusakan TeknisKini, tragedi yang nyaris serupa terulang kembali. Seluruh teknisi NASA seolah bekerja tanpa henti untuk mengusut apa yang sesungguhnya salah pada misi penerbangan STS 107 kali ini. Manajer program penerbangan Ron Dittemore mengaku nyaris tidak tidur nyenyak dalam beberapa hari ini demi menganalisis dan menjelaskan ”teori busa”-nya. Ia sendiri sempat beberapa kali menyangkal bahwa jatuhnya busa penyekat dari tanki eksternal ketika Columbia meluncur tidak akan berimbas kerusakan apa pun. Namun setelah mendengar masukan teknis, akhirnya Dittemore mengakui bahwa ia bisa saja salah.Kesalahan atau kerusakan teknis bukan hal baru bagi NASA. Badan antariksa milik AS itu sempat beberapa kali menunda peluncuran pesawat ulang aliknya dengan alasan gangguan teknis. Tahun lalu, misalnya, peluncuran pesawat Atlantis ditunda karena terjadi kebocoran bahan bakar hidrogen pada peluncur penggeraknya.Bukan itu saja, bahkan pada setiap pesawat ulang-alik milik NASA selalu terdapat keretakan-keretakan kecil yang bisa menunda semua penerbangan. Semestinya NASA menghargai nasihat seorang mendiang Donald Nelson, teknisinya dengan jam terbang cukup tinggi. Lelaki yang bergabung dengan NASA sejak 1970-an ini sempat mendesak agar dilakukan sistem penyelamatan diri penuh, dan membatasi awak menjadi empat orang saja. ”Selalu ada sesuatu di sana yang berpotensi menimbulkan bencana,” ujarnya beberapa waktu lalu.Nelson yang merupakan teknisi NASA ”veteran” dengan pengalaman mengutak-atik satelit Gemini, Apollo dan sejumlah pesawat ulang alik ini juga menyayangkan arogansi NASA. Menurutnya, ”Tingkat kegagalan yang satu banding 500 tidak boleh disombongkan,’” tutur alumni Northern Illinois University ini. ”Tingkat kegagalan seperti itu mengerikan jika Anda berbicara tentang manusia yang ada di dalamnya.”Meski keretakan itu kecil dan dalam beberapa hal tidak terlihat, NASA khawatir keretakan itu mungkin membesar dan menyebabkan pecahan-pecahan logam meluncur dengan cepat menuju mesin seperti pecahan peluru meriam, sehingga bisa membahayakan. Keretakan berarti terdapat pula pada pesawat Discovery, Atlantis dan Endeavour.Fakta-fakta macam inilah yang membuktikan bahwa kerap kali tragedi atau bencana besar terjadi justru karena hal-hal yang dianggap kecil. Yang jelas kini hanya ada tiga lagi pesawat ulang alik yang dimiliki NASA. Badan antariksa nomor satu di dunia tersebut harus lebih berhati-hati lagi kalau tidak ingin kehilangan semua pesawat andalannya.(mer)



Dikutip dari:Sinar Harapan 2002